KHITTAH K.H. AHMAD DAHLAN
1. Tidak menduakan Muhammadiyah dengan Organisasi lain
2. Tidak dendam, tidak marah, dan tidak sakit hati jika dicela dan dikritik
3. Tidak sombong dan tidak besar hati jika menerima pujian
4. Tidak Jubria (ujub, kibir, dan riya)
5. Mengorbankan harta benda, pikiran dan tenaga dengan hati ikhlas dan murni
6. Bersungguh hati terhadap pendirian.
Ahmad Dahlan mempunyai nama kecil Muhammad Darwisy. Beliau adalah anak dari KH. Abu Bakar yang juga merupakan seorang Khottib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara. Ahmad Dahlan kecil, atau Muhammad Darwisy mendapatkan pelajaaran dan pengajaran agama Islam yang sangat kental. Terutama dari ayahandanya yang juga merupakan seorang Kyai dan tokoh Islam pada masa itu. Karena begitu besarnya perhatian orang tua Ahmad Dahlan terhadap pendidikan Agama Islam, maka KH. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah pada usia 15 tahun untuk berhaji sekaligus menuntut ilmu.
Setelah menunaikan haji, KH. Ahmad Dahlan tidak segera pulang, namun menetap di sana selama 5 tahun. Beliau di Mekkah berguru kepada banyak tokoh besar Islam dunia, beliau juga mulai bersentuhan dengan berbagai pemikiran Islam pembaharu seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Bukan saja berguru kepada ulama dari Mekkah, KH. Ahmad Dahlan juga berguru pada ulama Indonesia yang menetap di Mekkah seperti asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang, Syekh Mahfud al-Tarmasy, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Nah, pada kesempatan kali ini, akan kami sampaikan informasi terkait profil dan biodata KH. Ahmad Dahlan. Karena meski beliau merupakan seorang tokoh besar Islam Indonesia, tentu masih ada teman kita yang belum mengerti dan belum memahami profil dan biodata KH. Ahmad Dahlan. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini akan kami sampaikan ringkasan perofil dan biodata serta biografi KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri organisasi Islam Muhammadiyah.
Biodata KH. Ahmad Dahlan
- Tanggal Lahir: 1 Agustus 1868,
- Kota Lahir : Yogyakarta, Indonesia
- Meninggal: 23 Februari 1923, Yogyakarta, Indonesia
- Pasangan: Siti Walidah – Nyai Ahmad Dahlan
- Orang tua: KH Abu Bakr (Ayah) dan Nyai Abu Bakr (Ibu)
- Anak-anak:
- Laki-laki: Dandanah, Irfan Dahlan, Siradj Dahlan.
- Perempuan: Djohanah, Siti Aisyah, Siti Zaharah, Siti Busyro.
- Organisasi Yang Didirikan: Muhammadiyah, ‘Aisyiyah
- Penghargaan: Pahlawan Nasional
Ahmad Dahlan ini adalah salah satu ulama yang aktif berorganisasi. Dalim kariri organisasinya, beliau bernah menjadi anggota dari Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI). Dari beberapa organisasi yang diikuti kemudian membawa KH. Ahmad Dahlan untuk membentu suatu organisasi yang bernafaskan Islam yaitu Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Kampung Kauman Yogyakarta. Sejak awal KH. Ahmad Dahlan menekankan bahwa organisasi yang ia bentuk bukanlah organisasi yang bergerak di bidang politik. Namun bergerak di bidang sosial dan terutama pada pendidikan. Di sini jelas bahwa KH. Ahmad Dahlan akan menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana untuk berdakwah dan pendidikan dengan membawa ideologi pembaruan Islam.
Pada awal pendirian Muhammadiyah ini, banyak sekali pertentangan dan bahkan KH. Ahmad Dahlan sendiri difitnah sebagai Kyai palsu dan bahkan Kyai Kafir. Namun dengan teguh, KH. Ahmad Dahlan tetap membesarkan Muhammadiyah dan bahkan kemudian bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perkembangan anggota Muhammadiyah yang terus berkembang pesat, maka KH. Ahmad Dahlan pun memohon izin bantuan hukum untuk Muhammadiyah pada pemerintah Hindia Belanda pada 20 Desember 1912 namun ditolak. Tak menyerah begitu saja, KH. Ahmad Dahlan terus melobi sehingga pada akhirnya turun izin dari Belanda pada 22 Agustus 1914 namun hanya untuk Yogyakarta.
PWMU.CO – Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang, mungkin, tidak tahu jika KH Ahmad Dahlan punya 4 istri. Terlebih karena hanya satu istri yang sering disebut: “Nyai Ahmad Dahlan”, sehingga 3 lainnya seperti “tidak tercatat”. Poligami yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah ini memang sebuah fakta sejarah. Namun yang harus dipahami adalah alasan dilakukannya poligami tersebut. Berikut adalah ringkasan dari buku “Kenangan Keluarga terhadap KH A Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan”, yang ditulis oleh Widiyastuti, canggah dari KH Ahmad Dahlan. Redaksi.
(Baca: Masjid Kiai Dahlan saat Bertetirah di Pasuruan yang Sudah Berubah)
Kyai Dahlan memulai kehidupan pribadinya sebagai seorang suami ketika berusia 20 tahun. Tepatnya, saat menikahi Siti Walidah, gadis berusia 17 tahun putri dari Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu Kraton Yogyakarta. Setelah mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan menikah dengan 3 orang perempuan dengan alasan tertentu. Terutama alasan agama dan dakwah.
Sejarah mencatat bahwa Siti Walidah atau yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan adalah seorang perempuan yang sangat cerdas. Sebagai seorang putri ulama, dia juga mengalami masa pingitan sehingga dia tidak mengikuti pendidikan formal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat saat itu yang menganggap perempuan cukup di rumah dan tidak perlu belajar di luar rumah.
Namun kecerdasan Siti Walidah tidak dapat dibendung setelah menikah. Sebab, Kyai Dahlan memberinya peluang mengembangkan diri. Siti Walidah juga sangat mendukung Kyai Dahlan dalam mendirikan dan mengembangan Muhammadiyah. Pernikahan dengan Siti Walidah ini menghasilkan 6 orang putra: Djohanah, Sieradj, Siti Busyro, Siti Aisyah, Jumhan, dan Siti Zuharoh.
(Baca juga: 3 Cerita Jatuh-Bangun Kyai Dahlan Mendirikan dan Pertahankan Sekolahan dan 5 Pertanyaan Pak AR untuk Warga Muhammadiyah saat Mendesain Interior Rumah)
Istri kedua yang dinikahi Kyai Dahlan adalah Ray Soetidjah Windyaningrum atau Nyai Abdullah, seorang janda muda yang diberikan Kraton Yogyakarta kepada Kyai Dahlan. Sebagai abdi dalem, tentunya Kyai Dahlan tidak dapat menolak pemberian Sultan. Justru pemberian ini menandakan jika Sultan merestui pembaharuan Kyai Dahlan yang berbasis di Kampung Kauman.
Perlu diingat bahwa kampung ini merupakan basis ulama Kraton Yogyakarta. Namun Ray Soetidjah Windyaningrum tetap bertempat tinggal di Namburan dan bukan pindah ke Kauman. Kyai Dahlan dinikahkan oleh kakak Siti Walidah dengan tujuan untuk memberi warna Muhammadiyah di Kraton Yogyakarta. Ini merupakan alasan dakwah melalui pernikahan yang dilakukan Kyai Dahlan. Nyai Abdullah akhirnya diceraikan oleh Kyai Dahlan dan dikaruniai seorang putra bernama R. Dhurie.
Ketokohan KH Ahmad Dahlan (selanjutnya disebut Kyai Dahlan) bagi Muhammadiyah bisa kita bandingkan layaknya KH Hasyim Asy’ari bagi Nahdlatul Ulama atau Taqiyuddin An-Nabhani bagi Hizbut Tahrir. Kyai Dahlan adalah sosok penting yang meletakkan dasar-dasar pergerakan organisasi Muhammadiyah. Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, beliau adalah pembaru Islam di Indonesia. Rekam jejaknya secara nyata dapat kita lihat dari Muhammadiyah di masa kini. Seperti kita sama ketahui, kini Muhammadiyah mengelola ribuan institusi pendidikan sejak jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tak hanya itu, Muhammadiyah juga masih mengelola ratusan rumah sakit, poliklinik, apotek, panti asuhan bahkan pusat pengembangan masyarakat. Semua itu bukanlah pencapaian yang biasa saja dan lebih penting lagi, semua itu bermula dari Kyai Dahlan.
Sungguh sangat relevan bagi kita di masa kini untuk kembali mempelajari gagasan-gagasan dan aksi nyata yang dilakukan oleh Kyai Dahlan. Namun, sayangnya agak sulit bagi generasi sekarang untuk mempelajari pemikiran Kyai Dahlan secara terstruktur. Hal ini mengingat Kyai Dahlan sendiri bukanlah seorang cendekiawan penulis. Sejauh yang dapat dilacak hanya ada dua peninggalan tertulis dari Kyai Dahlan. Itupun bukanlah sebuah buku yang disusun khusus oleh beliau. Manuskrip tersebut adalah transkrip dari pidato yang pernah beliau sampaikan kepada khalayak Muhammadiyin dan sebuah brosur.
Tahun 1922, Schrieke menyinggung sebuah brosur yang ditulis oleh Kyai Dahlan dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh R. Kamil. Brosur tersebut berjudul “Het Bindmiddle der Menschen” (Kesatuan Hidup Manusia). Sayangnya brosur tersebut hingga kini diketahui lagi keberadaannya. Lalu satu lagi dokumen transkrip pidato Kyai Dahlan yang diberi judul “Tali Pengikat Hidup”. Pidato ini disampaikan oleh Kyai Dahlan dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1922. Transkrip pidato yang amat penting ini diterbitkan oleh HB Muhammadiyah Majelis Pustaka setahun kemudian.
Dari itu dapatlah kita pahami bahwa Kyai Dahlan adalah seorang ‘ulama amaliyah’. Ulama yang mencerahkan bukan dengan tulisan ilmiah yang rigid, tapi melalui amaliyah yang langsung memberikan dampak nyata di masyarakat. Meski tak tercatat secara literal, namun kita masih bisa menelaah gagasan pembaruan Kyai Dahlan melalui tindakan-tindakan nyata beliau di ranah keagamaan, sosial, dan pendidikan. Hingga sekarang pembacaan dan penafsiran terhadap laku Kyai Dahlan masih terus digiatkan oleh cendekiawan-cendekiawan Muhammadiyah sesudahnya. Dan melalui para cendekiawan tersebutlah penyusun menggali pokok-pokok pemikiran pembaruan Kyai Dahlan.
Dalam kajian mengenai tokoh yang dikalungi gelar ‘pembaru’, rasanya perlu diperjelas dahulu konsepsi tentang terminologi ‘pembaru’ itu sendiri. Istilah pembaru sendiri kerap disamakan dengan istilah intelektual atau kaum modernis yang secara substansial memiliki kedekatan tujuan. Beberapa cendekiawan dalam sejumlah publikasinya telah memeberikan kepada kita semacam konsep tentang siapa yang layak disebut sebagai pembaru. Penyusun tidak hendak mencari satu pengertian yang definitif. Dari konsep-konsep tersebut penyusun melihat benang merah yang juga terkait dengan sikap intelektual dan amaliyah tokoh yang kita bahas, Kyai Dahlan. Perlunya adalah untuk memberikan telaah yang kritis terhadap sosok pendiri Muhammadiyah itu.
Dr. Taufik Abdullah dalam sebuah tulisannya yang dimuat di Panji Masyarakat No. 33 tahun 1981 berjudul Misi Intelektual, penyuratkan pengertiannya terhadap kriteria seorang pembaru. Menurutnya, seorang pembaru bukanlah sebuah kedudukan dan juga bukan berdasarkan pemilihan orang banyak. Pembaru pemikiran, adalah bagaimana seseorang mengasosiasikan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karena itu, pembaru pemikiran itu dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seorang pembaru dituntut untuk mampu menganalisis permasalahan masyarakat secara jujur dan objektif. Dari situ lalu diharapkan lahir analisis-analisis yang bermanfaat bagi masyarakatnya.
Ada pula pendapat dari Ziauddin Sardar. Sardar menilai bahwa seorang modernis atau pembaru adalah golongan muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin. Artinya orang berpendidikan saja tidak lantas masuk kategori sebagai pembaru. Secara intelektual mereka memang mampu namun jika tidak ditunjang dengan pemahaman nilai-nilai budaya, mereka hanya menjadi orang pintar saja. Pemikiran seorang pembaru bukanlah terbatas pada keilmuan atau teologi saja melainkan juga ideologi. Ideologi mereka, dalam hal ini Islam, merupakan representasi dari pandangan dunia dan nilai-nilai budaya mereka.
Yang terakhir adalah pandangan dari Ahmad Watik Pratiknya. Pratiknya berpendapat bahwa seorang pembaru dapat dilihat dari sifat kecendekiawanannya yang tercermin dari responnya terhadap lingkungan yang kritis, kreatif, objektif, analitis, dan bertanggungjawab. Jadi bukan hanya dibatasi oleh keterdidikan seseorang secara formal atau informal. Ditambah lagi, ia punya komitmen kuat pada Islam sebagai pandangan hidupnya.
Dari ketiga pandangan tentang kriteria seorang pembaru tersebut di atas, dapat kita ambil suatu benang merah pendekatan mereka. Seorang pembaru tidak dinilai hanya dari keterdidikannya saja, melainkan orang-orang yang kritis merespon keadaan lingkungannya dan karena itu mampu menghadirkan sesuatu yang solutif dan kaya nilai, baik itu secara budaya maupun secara religi. Terutama pembaru Islam jelas ia harus punya komitmen kuat terhadap Islam sebagai pandangan hidupnya. Dari perspektif inilah penyusun ‘membaca’ sosok dan laku seorang Kyai Dahlan.
Selayang Pandang Riwayat KH Ahmad Dahlan
Sebelum lebih jauh menelaah pemikiran KH Ahmad Dahlan, perlu sekali kita mengetahui sekilas riwayat perjalanan hidup beliau. Beliau terlahir di kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah KH Abu Bakar, seorang Imam Ratib di Masjid Gede Yogyakarta. Sedangkan Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara.
Muhammad Darwis lahir dalam keluarga abdi dalem kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang khusus mengurusi bidang keagamaan disebut ‘abdi dalem pamethakan’. Secara nasab pun beliau memang mewarisi ‘darah biru’ dari ulama-ulama tanah Jawa. Jika dirunut ke belakang, Muhammad Darwis adalah generasi ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang walisanga yang mendakwahkan Islam di daerah Gresik. Silsilahnya adalah sebagai berikut: Maulana Malik Ibrahim, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah, Maulana Sulaiman (Ki Ageng Gribig), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadha, Kyai Muhammad Sulaiman, Kyai Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).
Pendidikan Muhammad Darwis bermula dari pelajaran agama Islam yang diberikan langsung oleh sang ayah. Selain dari KH Abu Bakar sendir, Muhammad Darwis juga menuntut ilmu secara khusus kepada KH Muhammad Shaleh di bidang fiqih dan kepada KH Muhsin di bidang ilmu nahwu. Selain itu belajar juga dari KH Muhammad Noor, seorang kepala penghulu hakim kota Yogyakarta, dan KH Abdul Hamid di kampung Lempuyangan Wangi.
Tahun 1890, Muhammad Darwis pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus memperdalam belajarnya. Muhammad Darwis menetap selama setahun di Mekah. Dalam masa itulah ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama besar asal Minangkabau yang menetap di Mekah. Kemudian pada tahun 1903, ia kembali berhaji dan memperdalam pengetahuan Islamnya selama dua tahun. Sepulang dari haji dan belajarnya inilah kemudian Muhammad Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Sepulang dari Mekah itulah beliau mulai mengajar ilmu-ilmu agama di kampung halamannya.
Sebelum keberangkatannya yang pertama ke Mekah, Muhammad Darwis menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah. Ketika itu Muhammad Darwis berumur 18 tahun. Siti Walidah sendiri merupakan putri KH Muhammad Fadlil, seorang hoofd penghulu hakim di Yogyakarta. Pernikahan itu terjadi pada tahun 1889 atau setahun sebelum hajinya yang pertama.
Pada tahun 1896, KH Abu Bakar, ayah KH Ahmad Dahlan, meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Nitikan, Yogyakarta. Sesuai dengan tradisi kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan sebagai putra tertua mendapat kehormatan menggantikan posisi ayahandanya sebagai khatib amin. Selain aktif bergiat di bidang keagamaan di kedinasan kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan juga meluaskan wawasan organisasinya dengan masuk Budi Utomo. KH Ahmad Dahlan masuk BU berkat perkenalannya dengan Mas Joyosumarto, seorang pembantu bidang kesehatan yang dekat dengan Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Diajaklah Kyai Dahlan ke rapat-rapat pengurus BU Yogyakarta dan berkenalan dengan tokoh-tokoh BU. Tahun 1909, Kyai Dahlan resmi menjadi anggota pengurus BU. Beliau sering memberikan ceramah agama dalam rapat-rapat BU dan mendapat apresiasi dari pengurus BU yang lain. Dengan bantuan pengurus BU yang kebanyakan adalah guru di sekolah-sekolah kolonial, Kyai Dahlan kemudian turut memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah itu.
Banyak teman-teman pengurus BU yang terkesan dengan metode dakwah dan pengajaran ala Kyai Dahlan. Kemudian mereka menyarankan agar Kyai Dahlan agar mendirikan sekolahnya sendiri. Sekolah itu nantinya bernaung dalam sebuah organisasi yang permanen agar tetap bisa bertahan, tidak seperti umumnya pesantren yang harus tutup karena kyai pendirinya meninggal dunia. Atas saran itulah kemudian Kyai Dahlan membangun sebuah sekolah yang dinamai Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Dibantu pula oleh teman-temannya di BU (diantaranya Mas Budiharjo dan Raden Dwijosewoyo) Kyai Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Setelah melalui alur yang alot akhirnya Persyarikatan Muhammadiyah mendapatkan izin pendirian dari pemerintah Hindia Belanda. Persyarikatan Muhammadiyah memproklamirkan diri dan mengadakan rapat pengurus pertamanya di Loodge Gebouw Malioboro pada akhir Desember 1912.
Sejak tahun 1922 Kyai Dahlan sudah mulai mengalami gangguan kesehatan. Mobilitasnya yang tinggi semakin menurunkan kondisi tubuhnya. Pada 1923 dengan saran dokter Kyai Dahlan mengambil kesempatan untuk beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa Timur. Kyai Dahlan baru kembali ke Yogyakarta mendekati berlangsungnya rapat tahunan Muhammadiyah. Dalam keadaan kesehatannya yang sebenarnya tidak memungkinkan, Kyai Dahlan menyempatkan diri memberikan sambutan dalam pembukaan rapat tahunan itu. Kian hari kesehatan Kyai Dahlan kian menurun. Akhirnya memang pada tahun itulah Kyai Dahlan menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya lalu dikebumikan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta.
Konteks
Dalam membicarakan perkembangan pemikiran pembaruan Islam Kyai Dahlan, tidak bisa kita lepaskan dari konteks zaman dan konteks sosial di mana Kyai Dahlan tumbuh berkembang. Kyai Dahlan menghabiskan masa mudanya di Yogyakarta di bawah arahan sang ayah, KH Abu Bakar. Yogyakarta dalam kurun itu masih sangat kental dengan tradisi-tradisi Islam yang banyak bersinggungan dengan budaya dan mistis kejawen. Kemudian juga perlu kita ketahui perkembangan pemikiran Islam di dunia internasional pada masa itu. Apalagi Kyai Dahlan semasa mudanya pernah berhaji dan memperdalam agama Islam di Timur Tengah. Pada paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dunia Islam sedang menggelora semangat pembaruan Islam dan ide pan-Islamisme. Kyai Dahlan yang sedang menimba ilmu di Mekah pun turut mengukuti perkembangan ide-ide pembaruan Islam waktu itu. Karena itulah di bawah ini kami jelaskan tentang hal-hal tersebut di atas.
- Konteks Yogyakarta
Sebagaimana kita semua mafhum, Islam masuk ke Nusantara, khususnya Jawa melalui jalan damai dengan metode akulturasi budaya. Islam datang tidak dengan menghapuskan tradisi dan kearifan lokal masyarakat pribumi yang kala itu talah memeluk agama Hindu dan Buddha. Para Wali Sanga, yaitu para pendakwah Islam yang mula-mula, dalam dakwahnya lebih menekankan cara-cara ‘kompromistis’ agar Islam dapat diterima dengan baik dan penuh kesadaran. Karena itulah, jalan utama yang digunakan adalah melalui akulturasi kebudayaan. Dalam masyarakat Islam Jawa khususnya, tradisi-tradisi daur hidup dan pranata kejawen masih tetap hidup dengan ‘rasa’ yang lebih Islami.
Namun, dinamika yang damai itu terhenti dan justru mengalami kemunduran menjelang akhir abad ke-19. Umat Islam terjebak dalam arus formalitas agama yang miskin penghayatan dan kasadaran dalam ber-Islam. Sepintas lalu, spiritualitas dipandang cukup dengan dilaksanakannya ritual-ritual dan upacara-upacara ibadah saja. Menurut pendapat yang lebih ekstrem, praktik keber-Islaman di Jawa telah banyak terintrodusir oleh bid’ah dan khurafat.
Dalam lingkungan seperti itulah Kyai Dahlan tumbuh berkembang. Nyatanya Kyai Dahlan berada dalam pusaran utama pergumulan antara Islam dan tradisi Jawa karena beliau adalah putra dari abdi dalem Kraton Yogyakarta yang mengurusi bidang keagamaan. Di tambah lagi dengan iklim makro Hindia Belanda yang kala itu gegap gempita oleh politik etis. Muncul dualisme antara politik dan agama yang berangkat dari tesis Prof. Snouck Hurgronje. Menurut Prof. Snouck Hurgronje, musuh kekuasaan kolonial sebenarnya bukanlah Islam sebagai agama, tapi Islam sebagai politik. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa masyarakat perlu direkayasa agar semakin berjarak dengan Islam. Dengan begitu, lanjut Prof. Snouck Hurgronje, kekuatan Islam dapat direduksi menjadi hanya sebuah agama ritual yang terlepas dari aspek sosial dan politik. Inilah salah satu sebab kemunduran Islam yang telah direkayasa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk semakin memperkuat hegemoninya.
- Konteks Mekah (Timur Tengah)
Konteks sejarah Timur Tengah penyusun pandang penting dalam studi pemikiran Kyai Dahlan tak lepas dari kenyataan bahwa beliau di masa mudanya pernah menimba ilmu di sana, khususnya Mekah. Sementara itu, membahas Mekah semasa Kyai Dahlan menimba Ilmu di sana tidak bisa kita lepaskan pula dari dinamika politik dan pemikiran yang berkembang di sana pada paruh terakhir abad ke-19. Kala itu kita semua mafhum akan adanya gerakan kaum Wahabi yang mendengungkan purifikasi Islam dari segala hal yang dianggap bid’ah dan khurafat. Meskipun pada tataran politik Timur Tengah secara luas gerakan ini masih dapat ditekan dan dikontrol oleh Kekhalifahan Turki Usmani, namun gerakan ini masih memiliki pendukung di tingkat akar rumput.
Di tingkat yang lebih global, dunia Islam ketika itu juga sedang gegap gempita oleh meluasnya ide besar pembaruan dan cita-cita Pan Islamisme. Gagasan besar tersebut berhulu dari Al-Azhar. Dua orang tokoh pembaruan dan modernisasi Islam yang sangat masyur perannya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dan Muahammad Abduh. Kedua merupakan sosok guru-murid yang bersinergi memajukan gagasan-gagasan pembaruan Islam yang kemudian menyebar hingga ke seluruh dunia Islam.
Keduanya berupaya untuk melepaskan keterkungkungan masyarakat muslim dari pengaruh tradisi yang banyak mengandung unsur bid’ah, khurafat, dan cenderung tertutup. Gagasan besar Jamaluddin Al-Afghani yang terutama adalah Pan Islamisme. Sebuah gagasan politik yang mencanangkan unifikasi pemerintahan Islam dalam satu pimpinan utama. Gerakan sebenarnya tumbuh dari gelora Pan Arab yang telah berkembang sebelumnya. Sementara Muhammad Abduh banyak bergiat pada tataran intelektual dengan menawarkan reformasi keberagamaan dalam Islam. Keduanya punya andil besar dalam memecahkan kebekuan skolastik yang mengungkung Islam sejak abad pertengahan.
Dari ruang-ruang perkuliahan Universitas Al-Azhar, gagasan dua tokoh pembaru ini tersebar ke seluruh dunia Islam melalui murid-muridnya dan publikasi-publikasi umum seperti majalah Al-Urwatul Wutsqa yang sangat terkenal. Kemungkinan besar Kyai Dahlan juga banyak mendapat masukan intelektual dari perkembangan pemikiran dan modernisasi Islam di Timur Tengah ini.
Pol1gami adalah bukan warisan Islam. Poligami sudah ada umurnya sama dengan adanya usia peradaban manusia itu ada. Islam datang kedunia ini adalah untuk membatasi jumlah seorang laki- laki berpoligami maksimal 4 orang.
Rasulullah Muhammad SAW menikah dg Siti Khatijah seorang janda yg berumur lebih tua 15 tahun dari Nabi Muhammad. Dari 9 perempuan yg dinikahi Rasulullah semuanya adalah janda. Satu- satu yg gadis adalah ‘Aisyah RAnha.
KH Ahmad Dahlan yang menikah dg 4 orang perempuan, kalo kita baca Sang Kyai lebih cenderung pasif, artinya bukan dari inisiatifnya.
Karena memang budaya yg melekat berbagai aspek, orang merasa bangga dg status anaknya yg dinikahi dg seorang ajengan ( seorang Kyai).
Intinya kalau kita melihat perjalanan Kedua tokoh Seorang Rasul dan Seorang Kyai, ada relevansinya :
Keduanya bukan yg aktif mencari perempuan. tapi yang mencarikan perempuan ada alasan2 tertentu dari berbagai aspek.
Dari pernikahan itu tdk berbicara faktor biologis, tapi lebih ke ideologis.
Dan itu dapat disebut sebagai perkawinan dakwah.
Rasulullah menikah lagi demi dakwah Islam dan memperkuat gerakan perjuangan Islam.
KH A Dahlan menikah lagi demi dakwah Muhammadiyah dan memperkuat gerakan Perjuangan Muhammadiyah. Disamping itu kita berpikir lebih jauh yang dibatasi oleh nilai2 luhur, mungkin apbila tdk berpoligami kedua gerakan ini dapat cerita dan sejarah perjalannannya akan berbeda tdk spt sekarang ini.
Kalo kita boleh menghubungkan hal ini tetap saja ada isteri yg utama yg tdk mengurangi keadilan isteri2 yg lainnya.
Siti ‘Aisyah seorang isteri Rasulullah yg cerdas dan meriwayatkan hadist- hadist. Siti Walidah perempuan yg cerdas seorang isteri KH A Dahlan yang sangat gigih berjuang dan mendirikan perkumpulan Sopo Trisno, yg kemudian hari bernama ‘Aisyiyah.
Keduanya tokoh panutan kita yg satu menegakkan Kalimatullah : Agama Islam, yang satu melanjutkan perjuangan Rasulullah Muhammad SAW dengan membentuk organisasi : Muhammadiyah.
Kesimpulan: kedua berpoligami bukan faktor Biologis tapi Ideologis dan srategis serta Faktor sosial. yang akan membentuk dan membangun masyarakat menuju tahap yg lebih tinggi, masyarakat utama.